Sabtu, 10 November 2012

Tantangan dan Hambatan Konsolidasi Tanah


INSTRUMEN HUKUM PUBLIK DALAM KONSOLIDASI TANAH
2.1. Tindakan konkret
2.1.1.  Keputusan Bupati/Walikota tentang Penetapan Lokasi Konsolidasi Tanah
Salah satu instrumen yuridis yang digunakan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dalam konsolidasi tanah adalah menggunakan instrumen hukum publik berupa Keputusan Bupati/Walikota. Hal tersebut karena konsolidasi tanah berkaitan dengan rencana tata ruang, wewenang mengatur rencana tata ruang bukan wewenang Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang adalah wewenang daerah dimana Bupati/Walikota dalam kedudukan sebagai Kepala Daerah. Konsolidasi tanah tidak bisa dilaksanakan apabila tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Permasalahannya, untuk mewujudkan suatu rencana tata ruang di kawasan yang ditetapkan adalah adanya hak-hak atas tanah perorangan atau badan hukum perdata. Disini terlihat ada batas kewenangan antara Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dan Bupati/Walikota dalam konsolidasi tanah berkaitan dengan rencana tata ruang. Penataan ruang diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang yang diganti dengan Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007. Tindakan penataan ruang akan menimbulkan akibat hukum yang berkaitan dengan hak atas tanah.[1]  Pembebasan tanah untuk rencana tata ruang yang lazimnya ditempuh oleh badan atau pejabat tata usaha negara adalah melalui pengadaan tanah yang berarti  memindahkan mereka dengan suatu rencana peruntukan kepentingan umum.  Aturan hukum pengadaan tanah mengacu pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang yang diganti dengan Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 dan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 jo Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006. Penetapan tersebut akan mengakibatkan terjadi pencabutan atau pembatasan hak atas tanah yang mengakibatkan seseorang atau badan hukum perdata kehilangan hak atas tanahnya sendiri. Dikeluarkannya instrumen hukum publik berupa Keputusan Bupati/Walikota tentang Penetapan Lokasi Konsolidasi Tanah, menimbulkan pertanyaan mengenai; pertama, wewenang Bupati/ Walikota dalam menetapkan lokasi konsolidasi tanah; kedua, apa masalah dalam rencana tata ruang sehingga Bupati/Walikota mengeluarkan keputusan seperti itu; ketiga, apa akibatnya terhadap rencana tata ruang dan hak atas tanah dengan dikeluarkannya keputusan itu. Pertanyaan di atas terjadi akibat ada kerancuan dalam perumusannya. Pertama, ada dua kewenangan yang berbeda antara wewenang Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dalam bidang pertanahan dan wewenang Bupati/Walikota dalam rencana tata ruang dalam penetapan lokasi konsolidasi tanah serta tugas Bupati/Walikota sebagai tim koordinasi konsolidasi tanah dalam satu tindak pemerintahan, serta ketidakwenangan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia ataupun Bupati/Walikota dalam pembatasan hak atas tanah. Kedua, adanya percampuran antara instrumen hukum publik dan instrumen hukum privat dalam satu tindak pemerintahan. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan penting untuk dianalisis karena seperti yang dinyatakan Philipus M. Hadjon:
”… hukum positif mengikatkan akibat-akibat hukum tertentu pada keputusan-keputusan tersebut, misalnya suatu penyelesaian hukum melalui hakim tertentu.”[2]
2.1.1.1. Penetapan Lokasi Konsolidasi Tanah oleh Bupati/Walikota
Pasal 4 ayat (1) regulasi Konsolidasi Tanah, menetapkan:
Lokasi konsolidasi tanah ditetapkan oleh Bupati/Walikota dengan mengacu kepada Rencana Tata Ruang dan Rencana Pembangunan Daerah.
Isi dari Pasal 4 ayat (1) di atas terkandung maksud agar diperoleh suatu penetapan bahwa tanah yang akan ditata sesuai dengan Rencana Tata Ruang dan Rencana Pembangunan Daerah. Ketetapan di atas dikeluarkan karena wewenang mengatur rencana tata ruang bukan wewenang Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang adalah wewenang daerah dimana Bupati/Walikota dalam kedudukan sebagai Kepala Daerah. Dengan demikian Keputusan Bupati/ Walikota sifatnya penetapan atau pernyataan dapat dilaksanakan melalui konsolidasi tanah. Makna ”dapat” adalah suatu pilihan (choise) atau diskresi dalam artian bisa juga dilaksanakan dengan cara selain konsolidasi tanah. Keputusan yang demikian adalah tindakan hukum sepihak[3] (tindakan hukum publik) dari pemerintah yang dituangkan dalam bentuk tertulis. Sebagai contoh: ”Surat Keputusan Bupati Nomor: 296 tanggal 10 Juli 1993 tentang Penetapan Lokasi Konsolidasi Tanah di Kawasan Bukit Jati”. Keputusan yang demikian hanya berasal dari pihak pemerintah atau sepihak, tidak tergantung pihak lain dan bersifat konkret karena ditentukan lokasinya. Bersifat individual karena tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik nama, alamat maupun hal yang dituju.
Sebagai contoh, dalam konsideran ”MEMUTUSKAN”, ”MENETAPKAN” :
PERTAMA:
:
Lokasi Pelaksanaan Konsolidasi Tanah di:
Kelurahan                 : …
Kecamatan               : …
Kabupaten                : …
Luas                          : … Ha (sesuai peta situasi terlampir)
Jumlah pemilik/peserta : .. (dengannama orang dan alamat)
Bersifat final artinya definitif, sehingga dapat menimbulkan akibat hukum. Contoh, dalam konsideran  ”MEMUTUSKAN”, ”MENETAPKAN”:

KEDUA  : 
:
Selama Konsolidasi Tanah Perkotaan dilaksanakan tidak diperkenankan untuk mengalihkan hak tanah dan atau mendirikan bangunan di atas lokasi tanpa izin dari Bupati/ Walikota
Uraian di atas menunjukan Keputusan Bupati/Walikota tentang Penetapan Lokasi Pelaksanaan Konsolidasi Tanah merupakan Keputusan Tata Usaha Negara karena terpenuhi unsur-unsur ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986: 
Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis[4] yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
A Contrario, apabila tidak jelas nama orang/badan hukum yang dituju meskipun jelas alamat nya tidak termasuk pengertian individual, dengan demikian bukan keputusan tata usaha negara. Dengan sendirinya apabila terjadi gugatan bukan kompetensi peradilan tata usaha negara.
Berdasarkan uraian di atas disimpulkan wewenang Bupati/Walikota dalam penetapan lokasi konsolidasi tanah adalah wewenang daerah dimana Bupati/Walikota dalam kedudukan sebagai Kepala Daerah untuk menyatakan bahwa lokasi dimaksud tidak bertentangan dengan Rencana Tata Ruang dan Rencana Pembangunan Daerah yang merupakan Keputusan Tata Usaha Negara. Keputusan penetapan lokasi konsolidasi tanah adalah usaha mengatasi kebuntuan atau mengurangi masalah yang dihadapi Pemerintah Daerah dalam merealisasikan Rencana Teknik Ruang Kota (RTRK). 
 2.1.1.2.  Permasalahan dalam rencana tata ruang
Telah disebutkan, penetapan lokasi konsolidasi tanah berkaitan erat dengan rencana tata ruang dan hak atas tanah. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota menjadi pedoman untuk perumusan kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang dan penetapan lokasi investasi di Kabupaten/Kota serta menjadi dasar bagi penerbitan perizinan lokasi pembangunan. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/ Kota harus mengacu pada rencana tata ruang wilayah yang secara hirarkhi berada di atasnya, dengan demikian Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) dan Rencana Teknik Ruang Kota (RTRK) juga tidak boleh bertentangan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi ataupun dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) dan Rencana Teknik Ruang Kota (RTRK) yang akan direalisasikan sesuai rencana pembangunan daerah selalu mengalami masalah di lapangan berkaitan dengan hak atas tanah. Rencana pembuatan jalan ring road sebagai alternatif untuk memecahkan persoalan kemacetan lalu lintas di kota misalnya, akan menimbulkan masalah-masalah;  masalah pertama, di atas tanah tersebut telah ada permukiman penduduk atau terdapat hak atas tanah yang dimiliki oleh perorangan atau badan hukum perdata. Pembebasan tanah yang lazimnya ditempuh oleh badan atau pejabat tata usaha negara adalah melalui pengadaan tanah yang berarti  memindahkan mereka dengan suatu rencana peruntukan kepentingan umum.  Pengadaan tanah mengakibatkan terjadinya pencabutan hak atas tanah yang mengakibatkan seseorang atau badan hukum perdata kehilangan hak atas tanahnya sendiri; masalah kedua, jika yang berhak atas tanah dan atau benda-benda yang haknya dicabut itu tidak bersedia diganti rugi ataupun menetapkan ganti rugi yang tinggi, sementara pemerintah tidak atau belum cukup tersedia dana ganti rugi untuk pengadaan tanah karena APBD yang terbatas. Kedua masalah tersebut akan mengakibatkan Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) dan Rencana Teknik Ruang Kota (RTRK) yang telah dibuat tidak bisa direalisasikan atau mengalami penundaan-penundaan; Dampak dari penundaan mengakibatkan masalah ketiga, yaitu pertumbuhan permukiman alamiah yang semakin tidak teratur dan kumuh di kawasan perkotaan ataupun di kawasan pinggiran perkotaan karena pertambahan penduduk, arus urbanisasi dan lain-lain. Penjelasan di atas sejalan dengan yang disampaikan Ilhami[5]:               
1.  Banyak Master Plan dan Detail Plan dari sesuatu perencanaan kota yang sudah dibuat dengan baik dan memenuhi persyaratan formal, tetapi tidak bisa direalisasikan karena tidak atau belum cukup tersedianya dana ganti rugi untuk pembebasan tanah bagi kepentingan prasarana umum di dalam penerapan Master Plan maupun Detail Plan tersebut.
2. Dalam kenyataannya dana pembebasan tanah bagi kepentingan prasarana umum meliputi jumlah yang sangat besar, dan ada kecenderungan meningkat terus.
3. Dana Pemerintah yang tersedia untuk pembangunan terbatas.
4. Dst…
Uraian di atas tentu menimbulkan pertanyaan mengenai kewenangan mengatur Bupati/Walikota dalam rencana tata ruang dan kaitannya dalam penetapan lokasi konsolidasi tanah. Pedoman yang digunakan adalah bahwa setiap kebijakan atau tindak pemerintahan harus bersumber atas kewenangan yang sah, baik dari sumber atribusi, delegasi, maupun mandat. Dijelaskan oleh ten Berge:
Een overheidsorgaan moet voor het nemen van publiekrechtelijk beslissingen beschikken over expliciet toegekende, dan wel door het recht veronderstelde bevoegheiden. [6]
(Penetapan keputusan pemerintahan oleh organ yang berwenang harus didasarkan pada wewenang yang secara jelas telah diatur, dimana wewenang tersebut telah ditetapkan dalam aturan hukum yang terlebih dulu ada).
Dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988 jo Peraturan Presiden Republik Indonesia (PERPRES RI) Nomor 10 Tahun 2006 Tanggal 11 April 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional, dapat diartikan bahwa Presiden sebagai kepala pemerintahan (dalam hubungan atasan dengan bawahan) telah memberikan mandat bahwa urusan di bidang pertanahan menjadi wewenang Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Bidang pertanahan adalah hal yang kompleks dan menyangkut kepentingan banyak instansi, dengan demikian memerlukan kerjasama dengan Lembaga-Lembaga lain. Aspek koordinasi antar sektor (instansi lain) sangat penting sesuai  permasalahan dan programnya. Konsolidasi tanah adalah wewenang Badan Pertanahan Nasional, sedangkan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang adalah wewenang daerah dimana Bupati/ Walikota dalam kedudukan sebagai Kepala Daerah. Sistem pemerintahan daerah yang berlaku menempatkan Kepala Daerah sebagai pimpinan daerah otonom dan perwakilan pemerintah pusat dalam lingkungan pemerintahan daerah dan disebut Kepala Wilayah.[7] Keputusan Kepala Daerah dibuat untuk melaksanakan Peraturan Daerah, peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam rangka menjalankan tugas wewenang dan tanggung jawabnya sebagai penyelenggara pemerintahan daerah. Dalam upaya peningkatan koordinasi dan kinerja pembangunan yang harus disesuaikan dengan fungsi Departemen/Instansi yang terkait, maka Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1993 tentang Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional, dirubah dengan  Keputusan Presiden Nomor 62 Tahun 2000 tentang Koordinasi Penataan Ruang Nasional, yang di dalam Pasal 3 menetapkan susunan keanggotaan Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional yang terdiri atas: Ketua, Menteri Negara Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri; Wakil Ketua, Menteri Permukiman dan Pengembangan Wilayah;  Kepala BAPPENAS sebagai Sekretaris.
Konsolidasi tanah hakekatnya adalah kebijaksanaan pembangunan daerah untuk menata bagian wilayahnya yang tidak teratur menjadi teratur sesuai Rencana Tata Ruang dan Rencana Pembangunan Daerah, karena lokasi konsolidasi tanah berada di tingkat Kabupaten/Kota, harus mendapat penetapan dari Bupati/Walikota sebagai Kepala Daerah. Dengan kata lain, penggunaan instrumen hukum publik berupa Keputusan Bupati/Walikota dalam konsolidasi tanah adalah dalam kedudukan Bupati/ Walikota sebagai Kepala Daerah. Hal tersebut dapat dilihat pada Pasal 4 ayat (1) regulasi Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah, bahwa:
Lokasi konsolidasi tanah ditetapkan oleh Bupati/Walikota dengan mengacu kepada Rencana Tata Ruang dan Rencana Pembangunan Daerah.
Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan; pertama, yang menjadi masalah dalam tata ruang sehingga Bupati/Walikota menetapkan lokasi konsolidasi tanah karena Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) dan Rencana Teknik Ruang Kota (RTRK) dari perencanaan kota yang sudah dibuat tidak bisa atau tidak mudah direalisasikan di atas hak atas tanah perorangan atau badan hukum perdata karena tidak atau belum tersedia dana ganti rugi untuk pengadaan atau pembebasan tanahnya; kedua, jika yang berhak atas tanah dan atau benda-benda yang haknya dicabut tidak bersedia diganti rugi akan menimbulkan permasalahan baru yaitu pertumbuhan permukiman alamiah yang semakin tidak teratur dan kumuh; ketiga, kewenangan pembatasan hak atas tanah bukan kewenangan Bupati/Walikota. Dengan kata lain, ada batas antara kewenangan Bupati/Walikota dalam kedudukan sebagai Kepala Daerah. dalam menetapkan rencana tata ruang dan ketidakwenangan Bupati/ Walikota dalam  pembatasan hak atas tanah.

2.1.1.3.  Permasalahan dalam konsolidasi tanah
2.1.1.3.1.  Masalah dari pemilik tanah
Sebelum lokasi konsolidasi tanah ditetapkan dengan Surat Keputusan Bupati/Walikota, salah satu persyaratan penetapan obyek konsolidasi tanah adalah adanya kesediaan pemilik tanah untuk menyetujui pelaksanaan konsolidasi tanah. Dengan kata lain menyetujui melepaskan sebagian hak atas tanahnya untuk disumbangkan dalam konsolidasi tanah tanpa ganti rugi berupa uang. Ganti rugi dalam konsolidasi tanah adalah ganti rugi berupa lingkungan yang tertata rapi, semua tanah menghadap ke jalan, terdapatnya fasilitas umum dan fasilitas sosial, dan kepastian hak atas tanah berupa sertipikat yang diperoleh secara cuma-cuma sebagai kompensasi atas tanah yang disumbangkan dalam konsolidasi tanah. Makna “menyetujui” adalah sepakat. Kesepakatan melahirkan perjanjian. Perjanjian menimbulkan perikatan, dan perikatan menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum  diatur dalam hukum perjanjian. Dengan kata lain perjanjian digunakan dalam konsolidasi tanah. Untuk mencapai hal tersebut, langkah yang ditempuh Kantor Pertanahan Kabupaten/kota sebagai pelaksana konsolidasi tanah adalah melakukan penyuluhan untuk mendapatkan persetujuan dari pemilik tanah. Penyuluhan dilaksanakan Kantor Pertanahan dan Pemerintah Daerah secara langsung. Penyuluhan diberikan kepada masyarakat terutama para pemilik tanah di lokasi kosolidasi tanah, pemuka masyarakat, pemuka adat (pemimpin informal), Ketua RW dan aparat pelaksana pada lokasi terpilih. Hal tersebut dimaksudkan agar masyarakat semakin mengerti tentang manfaat kegiatan konsolidasi tanah dan ikut secara aktif dalam pelaksanaannya. Penyuluhan kepada aparat pelaksana dimaksudkan agar aparat mengerti tugas dan tanggung jawab dalam melaksanakan kegiatan konsolidasi tanah. Adapun materi penyuluhannya yaitu : (a) kegiatan konsolidasi tanah secara umum,   (b) manfaat konsolidasi tanah bagi peserta, (c) sumbangan peserta dalam konsolidasi tanah berupa Sumbangan Tanah Untuk Pelaksanaan (STUP), (d) susunan organisasi pelaksana konsolidasi tanah, (e) lain-lain yang berkaitan dengan pelaksanaan konsolidasi tanah.
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991 pada Pasal 4 ayat (1) menetapkan:
Lokasi konsolidasi tanah ditetapkan oleh Bupati/Walikota dengan mengacu kepada Rencana Tata Ruang dan Rencana Pembangunan Daerah.
Pasal 4 ayat (2) :
konsolidasi tanah dapat dilaksanakan apabila sekurang-kurangnya 85 persen dari pemilik tanah yang luas tanahnya meliputi sekurang-kurangnya 85 persen dari luas seluruh areal tanah yang akan dikonsolidasi menyatakan persetujuannya.
Memperhatikan peraturan di atas,  terdapat percampuran instrumen hukum dalam satu tindak pemerintahan. Di satu sisi menggunakan instrumen hukum publik dan di sisi lain menggunakan instrumen hukum privat. Instrumen hukum publik didasarkan atas Keputusan Bupati/Walikota, instrumen hukum privat berupa perjanjian. Perjanjian diatur dalam Pasal 1338 BW :
Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan–persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Merujuk Pasal 1338 BW, menurut hukum perdata tanpa persetujuan pemilik tanah untuk melepaskan hak atas tanahnya Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia yang mempunyai kewenangan di bidang pertanahan sekalipun tidak bisa menggunakan kewenangannya untuk melaksanakan konsolidasi tanah. Di sisi lain, Bupati/Walikota tidak mempunyai wewenang mengatur di bidang pertanahan, hanya berwenang menetapkan lokasi konsolidasi tanah. Bupati/Walikota bisa menetapkan lokasi konsolidasi tanah tetapi tidak bisa melaksanakan keputusan tersebut apabila tidak ada persetujuan dari pemilik tanah (lihat Pasal 4 ayat (2) di atas). Dengan demikian, peran serta (inspraak) atau persetujuan pemilik tanah dalam konsolidasi tanah menentukan. Dengan kata lain, tanpa adanya kesepakatan dari pemilik pemilik tanah Keputusan Bupati/Walikota yang dikeluarkan tidak bisa dilaksanakan. [8]
AContrario, apabila Bupati/Walikota mengeluarkan keputusan tentang penetapan lokasi konsolidasi tanah (sesuai dengan kewenangannya) tanpa adanya kesepakatan dari pemilik tanah, maka keputusan Bupati/Walikota tersebut tidak berarti dan tidak berakibat hukum. Hal tersebut dapat dilihat konsideran ”memperhatikan” dari keputusan Bupati/Walikota sebagai berikut:
MEMPERHATIKAN: Hasil musyawarah masyarakat  Desa/Kelurahan/Kecamatan/ Kabupaten ….. tanggal ……. tentang Konsolidasi Tanah
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa masalah dari pemilik tanah dalam konsolidasi tanah; pertama, sulitnya mendapatkan persetujuan atau kesepakatan dari pemilik tanah dalam konsolidasi tanah karena persetujuan pemilik tanah menentukan dikeluarkannya keputusan Bupati/Walikota tentang penetapan lokasi konsolidasi tanah. Dengan kata lain persetujuan menentukan dapat tidaknya konsolidasi tanah dilaksanakan; kedua, sulitnya mencari titik temu kesepakatan besaran persentase sumbangan tanah untuk pembangunan yang diberikan tanpa ganti rugi.
2.1.1.3.2.  Masalah dari Pemerintah Daerah  
Penataan ruang diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang yang diganti dengan Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota dan atau Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) dan Rencana Teknik Ruang Kota (RTRK) menjadi pedoman untuk perumusan kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang dan penetapan lokasi investasi di wilayah Kabupaten/Kota serta menjadi dasar bagi penerbitan perizinan lokasi pembangunan. Berdasarkan uraian di atas, titik anjak pemerintah daerah superior rencana tata ruang dan rencana pembangunan daerah yang didasarkan atas undang-undang dibandingkan konsolidasi tanah yang didasarkan atas regulasi Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991. Dengan kata lain, konsolidasi tanah tidak bisa dilaksanakan apabila tidak menyesuaikan dengan rencana tata ruang dan rencana pembangunan daerah. Ketika rencana tata ruang kota menetapkan pembuatan jalan arteri selebar 40 meter untuk memecahkan kemacetan lalu lintas kota, misalnya. Hal ini akan menjadi benturan apabila pelaksanaannya dilakukan melalui konsolidasi tanah yang hanya mampu menyediakan jalan lingkungan dengan lebar 4 sampai 8 meter karena peran serta pemilik tanah yang dilaksanakan di Indonesia ”umumnya”  hanya 20% (dua puluh persen) dari luas tanah.  Sesuai dengan rencana pembangunan daerah, dibutuhkan pembangunan stadion sepak bola misalnya. Konsolidasi tanah tidak bisa memberikan solusi atas luasnya lahan yang diperuntukkan untuk stadion dengan peran serta pemilik tanah yang hanya 20% (dua puluh persen) dari luas tanah.[9]  Keadaan di atas dapat diatasi[10] apabila peran serta ditingkatkan setidak-tidaknya 30%. Kedua contoh di atas  menunjukan bahwa rencana tata ruang dan rencana pembangunan daerah yang diatur atas dasar undang-undang, superior dibandingkan konsolidasi tanah yang diatur atas dasar regulasi. Pemaksaan pelaksanaan dua hal yang bertentangan tersebut mengakibatkan terjadinya tarik menarik kepentingan antara Pemerintah Daerah dan pemilik tanah yang berpotensi menimbulkan gugatan. Demikian pula dengan ditetapkannya Bupati/Walikota sebagai ketua Tim Koordinasi Konsolidasi Tanah Tingkat Kabupaten/Kota, dimana tugasnya antara lain adalah mengevaluasi dan mengarahkan penyusunan desain tata ruang serta mengatur/ mengarahkan peruntukan dan penggunaan tanah pengganti biaya pelaksanaan (TPBP) cenderung menimbulkan penyalahgunaan wewenang (de’tournement de pouvoir) yang berpotensi menimbulkan gugatan pula.
Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan; pertama, masalah dari pemerintah daerah dalam konsolidasi tanah adalah wewenang yang terbatas karena pembatasan hak atas tanah bukan wewenang Bupati/Walikota; kedua, percampuran antara wewenang Bupati/Walikota dalam rencana tata ruang dan dalam menetapkan lokasi konsolidasi tanah dengan tugas Bupati/Walikota sebagai tim koordinasi dalam konsolidasi tanah. Dengan kata lain ada percampuran antara kewenangan dan ketidakwenangan Bupati/Walikota dalam  konsolidasi tanah; ketiga, penggunaan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991 dalam konsolidasi tanah membuka peluang yang besar terjadinya gugatan dari pemilik tanah atau badan hukum perdata.
Contoh gugatan dengan alasan yang pada pokok nya  ada cacat yuridis dalam prosedur menjadikan terjadinya kasus dalam pelaksanaan konsolidasi tanah di Kota Pematang Siantar Provinsi Sumatra Utara. Kasus tersebut menjadikan tahapan pelaksanaan kegiatan konsolidasi tanah sebagai titik tolak untuk membuat keputusan. Kasus Lidya Boru Siahaan, dkk (para penggugat) melawan Kantor Pertanahan Kota Pematang Siantar (tergugat), Putusan PTUN Medan Reg.Nomor 57/G/1992/PTUN-Medan Tanggal 20 Maret 1993, Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Medan Nomor 57/BDG.G.MD/PTTUN/1993 Tanggal 5 April 1994 dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) Reg. Nomor 70K/TUN/1994 tanggal 14 Agustus 1995. Analisis hukum atas kasus ini selanjutnya akan dianalisis dalam bab III.
2.1.2.  Keputusan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi tentang Penegasan Tanah sebagai Obyek Konsolidasi Tanah
Penegasan tanah sebagai obyek konsolidasi tanah yang semula menjadi kewenangan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, berdasarkan Keputusan Kepala Badan pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2003 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Keputusan Penegasan Tanah Sebagai Obyek Konsolidasi Tanah, menjadi kewenangan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi. Hal tersebut sesuai ketetapan Pasal 2 ayat (1):
Kepala Badan Pertanahan Nasional melimpahkan kewenangan memberikan keputusan penegasan tanah sebagai obyek konsolidasi tanah kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi
Ketetapan Pasal 2 ayat (2):
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi memberikan keputusan penegasan tanah sebagai obyek konsolidasi tanah setelah menerima berkas usulan penegasan secara lengkap dari Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku
Ketetapan Pasal 2 ayat (3):
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi wajib memberikan laporan tertulis kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional secara berkala setiap bulan atas pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini;
Ketetapan Pasal 3 ayat (1):
Kepala Badan Pertanahan Nasional memberikan pembatalan keputusan penegasan tanah sebagai obyek konsolidasi tanah yang telah ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi apabila keputusan tersebut mengandung cacad hukum dalam penerbitan atau untuk melaksanakan putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Untuk melaksanakan keputusan di atas, Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota mengajukan permohonan penegasan obyek konsolidasi tanah kepada Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dengan melampirkan : (a) Surat Keputusan Bupati/Walikota tentang Penetapan Lokasi Konsolidasi Tanah; (b) Persetujuan  pemilik tanah dalam konsolidasi tanah; (c) Daftar peserta dan luas tanahnya; (d) Surat Pernyataan/Pelepasan Hak dari masing-masing peserta konsolidasi tanah; (e) Peta situasi lokasi konsolidasi tanah; (f) Peta penggunaan tanah; (g) Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota; (h) Peta keliling; (i) Peta rincikan (sebelum konsolidasi tanah); (j) Desain konsolidasi tanah;  (k) Perhitungan rencana luas dan peruntukan tanah; (l) Keterangan riwayat tanah yang ditandatangani Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota; (m) Surat keterangan pendaftaran tanah.
Berdasarkan uraian di atas disimpulkan; pertama, pelimpahan kewenangan dari Kepala Badan Pertanahan Nasional  untuk memberikan keputusan penegasan tanah sebagai obyek konsolidasi tanah kepada Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi adalah pelimpahan wewenang atas dasar mandat karena prosedur pelimpahannya dalam hubungan rutin antara atasan dan bawahan; kedua, instrumen hukum publik berupa Keputusan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan persyaratannya adalah  dalam kerangka pengawasan administratif yang bersifat preventif guna melindungi Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota sebagai instansi bawahan terhadap akibat negatif dari keputusan yang dikeluarkannya. Keputusan yang demikian tidak termasuk Keputusan Tata Usaha Negara .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar