INSTRUMEN HUKUM PUBLIK DALAM KONSOLIDASI TANAH
2.1. Tindakan
konkret
2.1.1. Keputusan Bupati/Walikota tentang Penetapan Lokasi Konsolidasi
Tanah
Salah satu
instrumen yuridis yang digunakan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
dalam konsolidasi tanah adalah menggunakan instrumen hukum publik berupa
Keputusan Bupati/Walikota. Hal tersebut karena konsolidasi tanah berkaitan
dengan rencana tata ruang, wewenang mengatur rencana
tata ruang bukan wewenang Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.
Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang adalah wewenang daerah dimana
Bupati/Walikota dalam kedudukan sebagai Kepala Daerah. Konsolidasi tanah
tidak bisa dilaksanakan apabila tidak sesuai dengan rencana tata ruang.
Permasalahannya, untuk mewujudkan suatu rencana tata ruang di kawasan yang
ditetapkan adalah adanya hak-hak atas tanah perorangan atau badan hukum
perdata. Disini terlihat ada batas kewenangan antara
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dan Bupati/Walikota dalam
konsolidasi tanah berkaitan dengan rencana tata ruang. Penataan ruang
diatur dalam Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang yang diganti dengan Undang Undang
Nomor 26 Tahun 2007. Tindakan penataan ruang akan menimbulkan akibat hukum yang berkaitan dengan hak atas
tanah.[1]
Pembebasan tanah untuk rencana tata ruang yang lazimnya ditempuh oleh badan
atau pejabat tata usaha negara adalah melalui pengadaan tanah yang
berarti memindahkan mereka dengan suatu rencana peruntukan kepentingan
umum. Aturan hukum
pengadaan tanah mengacu pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang
yang diganti dengan Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 dan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005
jo Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006. Penetapan tersebut akan mengakibatkan terjadi
pencabutan atau pembatasan hak atas tanah yang mengakibatkan seseorang atau
badan hukum perdata kehilangan hak atas tanahnya sendiri. Dikeluarkannya instrumen hukum publik
berupa Keputusan Bupati/Walikota tentang Penetapan Lokasi Konsolidasi Tanah,
menimbulkan pertanyaan mengenai; pertama, wewenang Bupati/ Walikota dalam menetapkan lokasi konsolidasi
tanah; kedua, apa masalah dalam rencana tata
ruang sehingga Bupati/Walikota mengeluarkan keputusan seperti itu; ketiga, apa akibatnya terhadap rencana tata ruang
dan hak atas tanah dengan dikeluarkannya keputusan itu. Pertanyaan di atas
terjadi akibat ada kerancuan dalam perumusannya. Pertama, ada dua kewenangan yang berbeda antara wewenang Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia dalam bidang pertanahan dan wewenang
Bupati/Walikota dalam rencana tata ruang dalam penetapan lokasi konsolidasi
tanah serta tugas Bupati/Walikota sebagai tim koordinasi konsolidasi tanah
dalam satu tindak pemerintahan, serta ketidakwenangan Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia ataupun Bupati/Walikota dalam pembatasan hak atas tanah. Kedua, adanya percampuran antara
instrumen hukum publik dan instrumen hukum privat dalam satu tindak
pemerintahan. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan penting untuk dianalisis
karena seperti yang dinyatakan Philipus
M. Hadjon:
”… hukum positif mengikatkan
akibat-akibat hukum tertentu pada keputusan-keputusan tersebut, misalnya suatu
penyelesaian hukum melalui hakim tertentu.”[2]
2.1.1.1. Penetapan Lokasi Konsolidasi Tanah oleh Bupati/Walikota
Pasal 4 ayat
(1) regulasi Konsolidasi Tanah, menetapkan:
Lokasi konsolidasi tanah ditetapkan
oleh Bupati/Walikota dengan mengacu kepada Rencana Tata Ruang dan Rencana
Pembangunan Daerah.
Isi dari Pasal
4 ayat (1) di atas terkandung maksud agar diperoleh suatu penetapan bahwa tanah
yang akan ditata sesuai dengan Rencana Tata Ruang dan Rencana Pembangunan
Daerah. Ketetapan di atas dikeluarkan karena wewenang
mengatur rencana tata ruang bukan wewenang Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia. Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang adalah wewenang daerah
dimana Bupati/Walikota dalam kedudukan sebagai Kepala Daerah. Dengan demikian
Keputusan Bupati/ Walikota sifatnya penetapan
atau pernyataan dapat
dilaksanakan melalui konsolidasi tanah. Makna ”dapat” adalah suatu pilihan (choise)
atau diskresi dalam artian bisa juga dilaksanakan dengan cara selain
konsolidasi tanah. Keputusan yang demikian adalah tindakan hukum sepihak[3]
(tindakan hukum publik) dari pemerintah
yang dituangkan dalam bentuk tertulis. Sebagai contoh: ”Surat Keputusan Bupati
Nomor: 296 tanggal 10 Juli 1993 tentang Penetapan Lokasi Konsolidasi Tanah di
Kawasan Bukit Jati”. Keputusan yang demikian hanya berasal dari pihak
pemerintah atau sepihak, tidak tergantung pihak lain dan bersifat konkret karena ditentukan lokasinya.
Bersifat individual karena tidak
ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik nama, alamat maupun hal yang dituju.
Sebagai contoh, dalam konsideran ”MEMUTUSKAN”, ”MENETAPKAN” :
PERTAMA:
|
:
|
Lokasi
Pelaksanaan Konsolidasi Tanah di:
Kelurahan
: …
Kecamatan
: …
Kabupaten
: …
Luas
: … Ha (sesuai peta situasi terlampir)
Jumlah
pemilik/peserta : .. (dengannama orang dan alamat)
|
Bersifat final artinya definitif, sehingga dapat menimbulkan akibat hukum.
Contoh, dalam konsideran ”MEMUTUSKAN”, ”MENETAPKAN”:
KEDUA
:
|
:
|
Selama
Konsolidasi Tanah Perkotaan dilaksanakan tidak diperkenankan untuk
mengalihkan hak tanah dan atau mendirikan bangunan di atas lokasi tanpa izin
dari Bupati/ Walikota
|
Uraian di atas
menunjukan Keputusan Bupati/Walikota tentang Penetapan Lokasi Pelaksanaan
Konsolidasi Tanah merupakan Keputusan Tata Usaha Negara karena terpenuhi
unsur-unsur ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986:
Keputusan Tata Usaha Negara
adalah suatu penetapan tertulis[4]
yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan
hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, yang bersifat konkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
A
Contrario,
apabila tidak jelas nama orang/badan hukum yang dituju meskipun jelas alamat
nya tidak termasuk pengertian individual, dengan demikian bukan keputusan tata
usaha negara. Dengan sendirinya apabila terjadi gugatan bukan kompetensi
peradilan tata usaha negara.
Berdasarkan uraian di atas disimpulkan wewenang
Bupati/Walikota dalam penetapan lokasi konsolidasi tanah adalah wewenang daerah dimana Bupati/Walikota dalam kedudukan
sebagai Kepala Daerah untuk
menyatakan bahwa lokasi dimaksud tidak
bertentangan dengan Rencana Tata Ruang dan Rencana Pembangunan Daerah
yang merupakan Keputusan Tata Usaha Negara. Keputusan penetapan lokasi
konsolidasi tanah adalah usaha mengatasi kebuntuan atau mengurangi masalah yang
dihadapi Pemerintah Daerah dalam merealisasikan Rencana Teknik Ruang Kota (RTRK).
2.1.1.2. Permasalahan dalam rencana tata ruang
Telah
disebutkan, penetapan lokasi konsolidasi tanah berkaitan erat dengan rencana
tata ruang dan hak atas tanah. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota menjadi pedoman
untuk perumusan kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang dan penetapan lokasi
investasi di Kabupaten/Kota serta menjadi dasar bagi penerbitan perizinan
lokasi pembangunan. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/ Kota harus mengacu
pada rencana tata ruang wilayah yang secara hirarkhi berada di atasnya, dengan
demikian Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) dan Rencana Teknik Ruang Kota
(RTRK) juga tidak boleh bertentangan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
ataupun dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) dan Rencana Teknik
Ruang Kota (RTRK) yang akan direalisasikan sesuai rencana pembangunan daerah
selalu mengalami masalah di lapangan berkaitan dengan hak atas tanah. Rencana
pembuatan jalan ring road sebagai alternatif untuk memecahkan persoalan
kemacetan lalu lintas di kota misalnya, akan menimbulkan masalah-masalah;
masalah pertama, di atas tanah tersebut telah ada permukiman penduduk atau
terdapat hak atas tanah yang
dimiliki oleh perorangan atau badan hukum perdata. Pembebasan tanah yang
lazimnya ditempuh oleh badan atau pejabat tata usaha negara adalah melalui
pengadaan tanah yang berarti memindahkan mereka dengan suatu rencana
peruntukan kepentingan umum. Pengadaan tanah mengakibatkan terjadinya
pencabutan hak atas tanah yang mengakibatkan seseorang atau badan hukum perdata
kehilangan hak atas tanahnya sendiri; masalah
kedua, jika yang berhak atas tanah dan atau benda-benda yang haknya
dicabut itu tidak bersedia diganti rugi
ataupun menetapkan ganti rugi yang tinggi, sementara pemerintah tidak atau belum cukup tersedia dana ganti rugi untuk pengadaan tanah karena APBD yang terbatas. Kedua
masalah tersebut akan mengakibatkan Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) dan
Rencana Teknik Ruang Kota (RTRK) yang telah dibuat tidak bisa direalisasikan
atau mengalami penundaan-penundaan; Dampak dari penundaan mengakibatkan masalah ketiga, yaitu pertumbuhan permukiman alamiah yang semakin tidak teratur dan kumuh di kawasan
perkotaan ataupun di kawasan pinggiran perkotaan karena pertambahan penduduk,
arus urbanisasi dan lain-lain. Penjelasan di atas sejalan dengan yang
disampaikan Ilhami[5]:
1. Banyak
Master Plan dan Detail Plan dari sesuatu perencanaan kota yang sudah dibuat
dengan baik dan memenuhi persyaratan formal, tetapi tidak bisa direalisasikan
karena tidak atau belum cukup tersedianya dana ganti rugi untuk pembebasan
tanah bagi kepentingan prasarana umum di dalam penerapan Master Plan maupun
Detail Plan tersebut.
2. Dalam
kenyataannya dana pembebasan tanah bagi kepentingan prasarana umum meliputi
jumlah yang sangat besar, dan ada kecenderungan meningkat terus.
3. Dana
Pemerintah yang tersedia untuk pembangunan terbatas.
4. Dst…
Uraian di atas tentu menimbulkan pertanyaan
mengenai kewenangan mengatur Bupati/Walikota dalam rencana tata ruang dan
kaitannya dalam penetapan lokasi konsolidasi tanah. Pedoman yang digunakan
adalah bahwa setiap kebijakan atau tindak pemerintahan harus bersumber atas
kewenangan yang sah, baik dari sumber atribusi, delegasi, maupun mandat.
Dijelaskan oleh ten Berge:
Een overheidsorgaan moet voor het nemen
van publiekrechtelijk beslissingen beschikken over expliciet toegekende, dan
wel door het recht veronderstelde bevoegheiden. [6]
(Penetapan keputusan pemerintahan oleh
organ yang berwenang harus didasarkan pada wewenang yang secara jelas telah
diatur, dimana wewenang tersebut telah ditetapkan dalam aturan hukum yang
terlebih dulu ada).
Dikeluarkannya
Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988 jo Peraturan Presiden Republik Indonesia
(PERPRES RI) Nomor 10 Tahun 2006 Tanggal 11 April 2006 tentang Badan Pertanahan
Nasional, dapat diartikan bahwa Presiden sebagai kepala pemerintahan (dalam
hubungan atasan dengan bawahan) telah memberikan
mandat bahwa urusan di
bidang pertanahan menjadi wewenang
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Bidang pertanahan adalah
hal yang kompleks dan menyangkut kepentingan banyak instansi, dengan demikian
memerlukan kerjasama dengan Lembaga-Lembaga lain. Aspek koordinasi antar sektor
(instansi lain) sangat penting sesuai permasalahan dan programnya. Konsolidasi
tanah adalah wewenang Badan Pertanahan Nasional, sedangkan Peraturan Daerah
tentang Rencana Tata Ruang adalah wewenang daerah dimana Bupati/ Walikota dalam
kedudukan sebagai Kepala Daerah. Sistem
pemerintahan daerah yang berlaku menempatkan Kepala Daerah sebagai pimpinan
daerah otonom dan perwakilan pemerintah pusat dalam lingkungan pemerintahan
daerah dan disebut Kepala Wilayah.[7]
Keputusan Kepala Daerah dibuat untuk melaksanakan Peraturan Daerah, peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam rangka menjalankan tugas
wewenang dan tanggung jawabnya sebagai penyelenggara pemerintahan daerah. Dalam
upaya peningkatan koordinasi dan kinerja pembangunan yang harus disesuaikan dengan
fungsi Departemen/Instansi yang terkait, maka Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun
1993 tentang Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional, dirubah dengan
Keputusan Presiden Nomor 62 Tahun 2000 tentang Koordinasi Penataan Ruang
Nasional, yang di dalam Pasal 3 menetapkan susunan keanggotaan Badan Koordinasi
Tata Ruang Nasional yang terdiri atas: Ketua, Menteri Negara Koordinator Bidang
Ekonomi, Keuangan dan Industri; Wakil Ketua, Menteri Permukiman dan
Pengembangan Wilayah; Kepala BAPPENAS sebagai Sekretaris.
Konsolidasi tanah hakekatnya adalah kebijaksanaan
pembangunan daerah untuk menata bagian wilayahnya yang tidak teratur menjadi
teratur sesuai Rencana Tata Ruang dan Rencana Pembangunan Daerah, karena lokasi
konsolidasi tanah berada di tingkat Kabupaten/Kota, harus mendapat penetapan
dari Bupati/Walikota sebagai Kepala Daerah. Dengan kata lain, penggunaan
instrumen hukum publik berupa Keputusan Bupati/Walikota dalam konsolidasi tanah
adalah dalam kedudukan Bupati/ Walikota
sebagai Kepala Daerah. Hal tersebut dapat dilihat pada Pasal 4 ayat (1)
regulasi Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991 tentang
Konsolidasi Tanah, bahwa:
Lokasi konsolidasi tanah ditetapkan
oleh Bupati/Walikota dengan mengacu kepada Rencana Tata Ruang dan Rencana
Pembangunan Daerah.
Berdasarkan
uraian di atas, disimpulkan; pertama,
yang
menjadi masalah dalam tata ruang sehingga Bupati/Walikota menetapkan lokasi
konsolidasi tanah karena Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) dan Rencana
Teknik Ruang Kota (RTRK) dari perencanaan kota yang sudah dibuat tidak
bisa atau tidak mudah direalisasikan di atas hak atas tanah perorangan atau
badan hukum perdata karena tidak atau belum tersedia dana ganti rugi untuk
pengadaan atau pembebasan tanahnya; kedua,
jika
yang berhak atas tanah dan atau benda-benda yang haknya dicabut tidak bersedia
diganti rugi akan menimbulkan permasalahan baru yaitu pertumbuhan permukiman
alamiah yang semakin tidak teratur dan kumuh; ketiga, kewenangan pembatasan hak atas tanah bukan kewenangan
Bupati/Walikota. Dengan kata lain, ada batas antara kewenangan Bupati/Walikota
dalam kedudukan sebagai Kepala Daerah. dalam menetapkan rencana tata ruang dan
ketidakwenangan Bupati/ Walikota dalam pembatasan hak atas tanah.
2.1.1.3.
Permasalahan dalam konsolidasi tanah
2.1.1.3.1. Masalah dari pemilik tanah
Sebelum lokasi
konsolidasi tanah ditetapkan dengan Surat Keputusan Bupati/Walikota, salah satu
persyaratan penetapan obyek konsolidasi tanah adalah adanya kesediaan pemilik
tanah untuk menyetujui pelaksanaan konsolidasi tanah. Dengan kata lain
menyetujui melepaskan sebagian hak atas tanahnya untuk disumbangkan dalam
konsolidasi tanah tanpa ganti rugi berupa uang. Ganti rugi dalam konsolidasi
tanah adalah ganti rugi berupa lingkungan yang tertata rapi, semua tanah
menghadap ke jalan, terdapatnya fasilitas umum dan fasilitas sosial, dan
kepastian hak atas tanah berupa sertipikat yang diperoleh secara cuma-cuma
sebagai kompensasi atas tanah yang disumbangkan dalam konsolidasi tanah. Makna
“menyetujui” adalah sepakat. Kesepakatan melahirkan perjanjian. Perjanjian
menimbulkan perikatan, dan perikatan menimbulkan akibat hukum. Akibat
hukum diatur dalam hukum perjanjian. Dengan kata lain perjanjian
digunakan dalam konsolidasi tanah. Untuk mencapai hal tersebut, langkah yang
ditempuh Kantor Pertanahan Kabupaten/kota sebagai pelaksana konsolidasi tanah
adalah melakukan penyuluhan untuk mendapatkan persetujuan dari pemilik tanah.
Penyuluhan dilaksanakan Kantor Pertanahan dan Pemerintah Daerah secara langsung.
Penyuluhan diberikan kepada masyarakat terutama para pemilik tanah di lokasi
kosolidasi tanah, pemuka masyarakat, pemuka adat (pemimpin informal), Ketua RW
dan aparat pelaksana pada lokasi terpilih. Hal tersebut dimaksudkan agar
masyarakat semakin mengerti tentang manfaat kegiatan konsolidasi tanah dan ikut
secara aktif dalam pelaksanaannya. Penyuluhan kepada aparat pelaksana
dimaksudkan agar aparat mengerti tugas dan tanggung jawab dalam melaksanakan
kegiatan konsolidasi tanah. Adapun materi penyuluhannya yaitu : (a) kegiatan
konsolidasi tanah secara umum, (b) manfaat konsolidasi tanah bagi
peserta, (c) sumbangan peserta dalam konsolidasi tanah berupa Sumbangan Tanah
Untuk Pelaksanaan (STUP), (d) susunan organisasi pelaksana konsolidasi tanah,
(e) lain-lain yang berkaitan dengan pelaksanaan konsolidasi tanah.
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun
1991 pada Pasal 4 ayat (1) menetapkan:
Lokasi konsolidasi tanah ditetapkan
oleh Bupati/Walikota dengan mengacu kepada Rencana Tata Ruang dan Rencana
Pembangunan Daerah.
Pasal 4 ayat (2) :
konsolidasi tanah dapat dilaksanakan
apabila sekurang-kurangnya 85 persen dari pemilik tanah yang luas tanahnya
meliputi sekurang-kurangnya 85 persen dari luas seluruh areal tanah yang akan
dikonsolidasi menyatakan persetujuannya.
Memperhatikan
peraturan di atas, terdapat percampuran instrumen hukum dalam satu tindak
pemerintahan. Di satu sisi menggunakan instrumen hukum publik dan di sisi lain
menggunakan instrumen hukum privat. Instrumen hukum publik didasarkan atas
Keputusan Bupati/Walikota, instrumen hukum privat berupa perjanjian. Perjanjian
diatur dalam Pasal 1338 BW :
Semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya. Persetujuan–persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain
dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh
undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan-persetujuan harus
dilaksanakan dengan itikad baik.
Merujuk Pasal
1338 BW, menurut hukum perdata tanpa persetujuan
pemilik tanah untuk melepaskan hak atas tanahnya Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia yang mempunyai kewenangan di bidang pertanahan
sekalipun tidak bisa menggunakan kewenangannya untuk melaksanakan konsolidasi
tanah. Di sisi lain, Bupati/Walikota tidak mempunyai wewenang mengatur di
bidang pertanahan, hanya berwenang menetapkan lokasi konsolidasi tanah.
Bupati/Walikota bisa menetapkan lokasi konsolidasi tanah tetapi tidak bisa
melaksanakan keputusan tersebut apabila tidak ada persetujuan dari pemilik
tanah (lihat Pasal 4 ayat (2) di atas). Dengan demikian, peran serta (inspraak)
atau persetujuan pemilik tanah
dalam konsolidasi tanah menentukan.
Dengan kata lain, tanpa adanya kesepakatan dari pemilik pemilik tanah Keputusan
Bupati/Walikota yang dikeluarkan tidak bisa dilaksanakan. [8]
AContrario, apabila Bupati/Walikota mengeluarkan
keputusan tentang penetapan lokasi konsolidasi tanah (sesuai dengan
kewenangannya) tanpa adanya kesepakatan dari pemilik tanah, maka keputusan
Bupati/Walikota tersebut tidak berarti dan tidak berakibat hukum. Hal tersebut
dapat dilihat konsideran ”memperhatikan” dari keputusan Bupati/Walikota sebagai
berikut:
MEMPERHATIKAN:
Hasil musyawarah masyarakat Desa/Kelurahan/Kecamatan/ Kabupaten …..
tanggal ……. tentang Konsolidasi Tanah
Berdasarkan
uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa masalah dari pemilik tanah dalam
konsolidasi tanah; pertama,
sulitnya mendapatkan persetujuan atau
kesepakatan dari pemilik tanah dalam konsolidasi tanah karena persetujuan pemilik tanah menentukan
dikeluarkannya keputusan Bupati/Walikota tentang penetapan lokasi konsolidasi
tanah. Dengan kata lain persetujuan menentukan dapat tidaknya konsolidasi tanah
dilaksanakan; kedua, sulitnya mencari titik temu kesepakatan
besaran persentase sumbangan tanah untuk pembangunan yang diberikan tanpa ganti
rugi.
2.1.1.3.2.
Masalah dari Pemerintah Daerah
Penataan ruang
diatur dalam Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang yang diganti dengan Undang Undang
Nomor 26 Tahun 2007. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota dan atau Rencana
Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) dan Rencana Teknik Ruang Kota (RTRK) menjadi
pedoman untuk perumusan kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang dan penetapan
lokasi investasi di wilayah Kabupaten/Kota serta menjadi dasar bagi penerbitan
perizinan lokasi pembangunan. Berdasarkan uraian di atas, titik anjak pemerintah daerah
superior rencana tata ruang dan rencana pembangunan daerah yang didasarkan atas
undang-undang dibandingkan konsolidasi tanah yang didasarkan atas regulasi
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991. Dengan kata lain, konsolidasi tanah
tidak bisa dilaksanakan apabila tidak menyesuaikan dengan rencana tata ruang
dan rencana pembangunan daerah. Ketika rencana tata ruang kota menetapkan
pembuatan jalan arteri selebar 40 meter untuk memecahkan kemacetan lalu lintas
kota, misalnya. Hal ini akan menjadi benturan apabila pelaksanaannya dilakukan
melalui konsolidasi tanah yang hanya mampu menyediakan jalan lingkungan dengan
lebar 4 sampai 8 meter karena peran serta pemilik tanah yang dilaksanakan di
Indonesia ”umumnya” hanya 20% (dua puluh persen) dari luas tanah.
Sesuai dengan rencana pembangunan daerah, dibutuhkan pembangunan stadion sepak
bola misalnya. Konsolidasi tanah tidak bisa memberikan solusi atas luasnya
lahan yang diperuntukkan untuk stadion dengan peran serta pemilik tanah yang
hanya 20% (dua puluh persen) dari luas tanah.[9]
Keadaan di atas dapat diatasi[10]
apabila peran serta ditingkatkan setidak-tidaknya 30%. Kedua contoh di
atas menunjukan bahwa rencana tata ruang dan rencana pembangunan daerah
yang diatur atas dasar undang-undang, superior dibandingkan konsolidasi tanah
yang diatur atas dasar regulasi. Pemaksaan pelaksanaan dua hal yang
bertentangan tersebut mengakibatkan terjadinya tarik menarik kepentingan antara
Pemerintah Daerah dan pemilik tanah yang berpotensi menimbulkan gugatan.
Demikian pula dengan ditetapkannya Bupati/Walikota sebagai ketua Tim Koordinasi
Konsolidasi Tanah Tingkat Kabupaten/Kota, dimana tugasnya antara lain adalah mengevaluasi dan mengarahkan
penyusunan desain tata ruang serta mengatur/ mengarahkan peruntukan dan penggunaan tanah
pengganti biaya pelaksanaan (TPBP) cenderung menimbulkan penyalahgunaan
wewenang (de’tournement de pouvoir) yang berpotensi menimbulkan gugatan
pula.
Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan; pertama, masalah dari pemerintah
daerah dalam konsolidasi tanah adalah wewenang yang terbatas karena pembatasan
hak atas tanah bukan wewenang Bupati/Walikota; kedua, percampuran antara wewenang Bupati/Walikota dalam rencana
tata ruang dan dalam menetapkan lokasi konsolidasi tanah dengan tugas
Bupati/Walikota sebagai tim koordinasi dalam konsolidasi tanah. Dengan kata lain
ada percampuran antara kewenangan dan ketidakwenangan Bupati/Walikota
dalam konsolidasi tanah; ketiga,
penggunaan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991 dalam
konsolidasi tanah membuka peluang yang besar terjadinya gugatan dari pemilik
tanah atau badan hukum perdata.
Contoh gugatan dengan alasan yang pada pokok nya
ada cacat yuridis dalam prosedur menjadikan terjadinya kasus dalam pelaksanaan
konsolidasi tanah di Kota Pematang Siantar Provinsi Sumatra Utara. Kasus
tersebut menjadikan tahapan pelaksanaan kegiatan konsolidasi tanah sebagai
titik tolak untuk membuat keputusan. Kasus Lidya Boru Siahaan, dkk (para
penggugat) melawan Kantor Pertanahan Kota Pematang Siantar (tergugat), Putusan
PTUN Medan Reg.Nomor 57/G/1992/PTUN-Medan Tanggal 20 Maret 1993, Putusan
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Medan Nomor 57/BDG.G.MD/PTTUN/1993
Tanggal 5 April 1994 dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) Reg.
Nomor 70K/TUN/1994 tanggal 14 Agustus 1995. Analisis hukum atas kasus ini
selanjutnya akan dianalisis dalam bab III.
2.1.2. Keputusan Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional Provinsi tentang Penegasan Tanah sebagai Obyek
Konsolidasi Tanah
Penegasan
tanah sebagai obyek konsolidasi tanah yang semula menjadi kewenangan Kepala
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, berdasarkan Keputusan Kepala
Badan pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2003 tentang Pelimpahan Kewenangan
Pemberian Keputusan Penegasan Tanah Sebagai Obyek Konsolidasi Tanah, menjadi
kewenangan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi. Hal tersebut
sesuai ketetapan Pasal 2 ayat (1):
Kepala Badan Pertanahan Nasional melimpahkan kewenangan memberikan
keputusan penegasan tanah sebagai obyek konsolidasi tanah kepada Kepala Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi
Ketetapan Pasal 2 ayat (2):
Kepala Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional Provinsi memberikan keputusan penegasan tanah sebagai obyek
konsolidasi tanah setelah menerima berkas usulan penegasan secara lengkap dari
Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota sesuai dengan peraturan perundangan
yang berlaku
Ketetapan Pasal 2 ayat (3):
Kepala Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional Provinsi wajib
memberikan laporan tertulis kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional secara
berkala setiap bulan atas pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud ayat (1)
pasal ini;
Ketetapan Pasal 3 ayat (1):
Kepala Badan Pertanahan Nasional
memberikan pembatalan keputusan
penegasan tanah sebagai obyek konsolidasi tanah yang telah ditetapkan oleh
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi apabila keputusan
tersebut mengandung cacad hukum dalam penerbitan atau untuk melaksanakan
putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Untuk
melaksanakan keputusan di atas, Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota mengajukan
permohonan penegasan obyek konsolidasi tanah kepada Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional Provinsi dengan melampirkan : (a) Surat Keputusan
Bupati/Walikota tentang Penetapan Lokasi Konsolidasi Tanah; (b)
Persetujuan pemilik tanah dalam konsolidasi tanah; (c) Daftar peserta dan
luas tanahnya; (d) Surat Pernyataan/Pelepasan Hak dari masing-masing peserta
konsolidasi tanah; (e) Peta situasi lokasi konsolidasi tanah; (f) Peta
penggunaan tanah; (g) Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota;
(h) Peta keliling; (i) Peta rincikan (sebelum konsolidasi tanah); (j) Desain
konsolidasi tanah; (k) Perhitungan rencana luas dan peruntukan tanah; (l)
Keterangan riwayat tanah yang ditandatangani Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/ Kota; (m) Surat keterangan pendaftaran tanah.
Berdasarkan uraian di atas
disimpulkan; pertama, pelimpahan
kewenangan dari Kepala Badan Pertanahan Nasional untuk memberikan
keputusan penegasan tanah sebagai obyek konsolidasi tanah kepada Kantor Wilayah
Badan Pertanahan Nasional Provinsi adalah pelimpahan wewenang atas dasar mandat
karena prosedur pelimpahannya dalam hubungan rutin antara
atasan dan bawahan; kedua, instrumen hukum publik berupa Keputusan Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional Provinsi dan persyaratannya adalah dalam kerangka pengawasan
administratif yang bersifat preventif guna melindungi Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota sebagai instansi bawahan terhadap akibat negatif dari keputusan
yang dikeluarkannya. Keputusan yang demikian tidak termasuk Keputusan Tata
Usaha Negara .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar