Minggu, 11 November 2012

Aspek Hukum Jangka Waktu Hak Pakai atas Tanah Negara dan Tanah dengan Hak Milik

 
Berdasarkan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UU Tanah), Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain. Sebagaimana diatur dalam Pasal 42 Hukum Tanah, Hak Pakai dapat diberikan kepada:
  1. warga negara Indonesia;
  2. orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
  3. badan hukum yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia;
  4. badan hukum asing yang mempunyai kantor perwakilan di Indonesia.
Lebih lanjut, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah (PP 40), Hak Pakai dapat diberikan di atas tanah dengan status:
  1. tanah negara;
  2. tanah hak pengelolaan;
  3. tanah hak milik.
Kepemilikan properti oleh orang asing sebagaimana diatur secara khusus dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 mengenai Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia (PP 41). Pasal 2 PP 41 jenis rumah yang diperbolehkan untuk dimiliki oleh orang asing:
  1. rumah yang dibangun di atas tanah negara;
  2. rumah yang dibangun berdasarkan perjanjian dengan pemegang hak milik atas tanah. Perjanjian tersebut harus dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah;
  3. satuan rumah susun yang dibangun di atas Hak Pakai atas tanah Negara.

Sabtu, 10 November 2012

Cara Pengurusan Perubahan Tanah HGB Ke SHM (Hak Guna Bangun ke Hak Milik)

Pada waktu itu saya mau tahu tentang pengurusan HGB ke SHM, tanya sana-sini jawabannya agak kurang memuaskan, kucoba jari-jari ini mencari di search engine google, ternyata kudapati artikel ini, mohon maaf saya lupa sumbernya, jika ada kekurangan mohon saran dan koreksinya, tapi walaupun demikian dengan niat yang baik saya tulis kembali artikel ini, semoga artikel ini bermanfaat bagi temen-temen yang membutuhkannya.
A. Cara Pengurusan Perubahan Tanah HGB Ke SHM (Hak Guna Bangun ke Hak Milik)
Tanah dengan status sertifikat hak guna bangun (HGB) bisa dijadikan sertifikat hak milik (SHM) dengan sertifikat HGB tersebut harus dimiliki oleh warga negara indonesia (wni) dengan luas kurang dari 600 meter persegi, masih menguasai tanah dan memiliki HGB yang masih berlaku atau sudah habis masa.
Syarat mengajukan permohonan mengubah sertifikat HGB ke hak milik :
1. Sertifikat asli HGB yang akan diubah status
2. Fotokopi IMB (izin mendirikan bangunan) yang memperbolehkan dipergunakan untuk didirikan bangunan
3. Bukti identitas diri
4. Fotokopi SPPT PBB (pajak bumi dan bangunan) terakhir
5. Surat permohonan kepada Kepala Kantor Pertanahan setempat
6. Surat penyataan tidak memiliki tanah lebih dari 5 bidang dan luas kurang dari 5000 meter persegi.
7. Pajak : (NJOP tanah – 20 juta) x 2%
8. Membayar biaya perkara Tambahan :
- Bisa menggunakan jasa notaris PPAT (pejabat pembuat akta tanah) untuk pengurusan HGB ke SHM.
- Dasar hukum adalah Keputusan Menteri Negara / Kepala BPN No. 6 tahun 1998.

Tantangan dan Hambatan Konsolidasi Tanah


INSTRUMEN HUKUM PUBLIK DALAM KONSOLIDASI TANAH
2.1. Tindakan konkret
2.1.1.  Keputusan Bupati/Walikota tentang Penetapan Lokasi Konsolidasi Tanah
Salah satu instrumen yuridis yang digunakan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dalam konsolidasi tanah adalah menggunakan instrumen hukum publik berupa Keputusan Bupati/Walikota. Hal tersebut karena konsolidasi tanah berkaitan dengan rencana tata ruang, wewenang mengatur rencana tata ruang bukan wewenang Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang adalah wewenang daerah dimana Bupati/Walikota dalam kedudukan sebagai Kepala Daerah. Konsolidasi tanah tidak bisa dilaksanakan apabila tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Permasalahannya, untuk mewujudkan suatu rencana tata ruang di kawasan yang ditetapkan adalah adanya hak-hak atas tanah perorangan atau badan hukum perdata. Disini terlihat ada batas kewenangan antara Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dan Bupati/Walikota dalam konsolidasi tanah berkaitan dengan rencana tata ruang. Penataan ruang diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang yang diganti dengan Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007. Tindakan penataan ruang akan menimbulkan akibat hukum yang berkaitan dengan hak atas tanah.[1]  Pembebasan tanah untuk rencana tata ruang yang lazimnya ditempuh oleh badan atau pejabat tata usaha negara adalah melalui pengadaan tanah yang berarti  memindahkan mereka dengan suatu rencana peruntukan kepentingan umum.  Aturan hukum pengadaan tanah mengacu pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang yang diganti dengan Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 dan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 jo Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006. Penetapan tersebut akan mengakibatkan terjadi pencabutan atau pembatasan hak atas tanah yang mengakibatkan seseorang atau badan hukum perdata kehilangan hak atas tanahnya sendiri. Dikeluarkannya instrumen hukum publik berupa Keputusan Bupati/Walikota tentang Penetapan Lokasi Konsolidasi Tanah, menimbulkan pertanyaan mengenai; pertama, wewenang Bupati/ Walikota dalam menetapkan lokasi konsolidasi tanah; kedua, apa masalah dalam rencana tata ruang sehingga Bupati/Walikota mengeluarkan keputusan seperti itu; ketiga, apa akibatnya terhadap rencana tata ruang dan hak atas tanah dengan dikeluarkannya keputusan itu. Pertanyaan di atas terjadi akibat ada kerancuan dalam perumusannya. Pertama, ada dua kewenangan yang berbeda antara wewenang Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dalam bidang pertanahan dan wewenang Bupati/Walikota dalam rencana tata ruang dalam penetapan lokasi konsolidasi tanah serta tugas Bupati/Walikota sebagai tim koordinasi konsolidasi tanah dalam satu tindak pemerintahan, serta ketidakwenangan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia ataupun Bupati/Walikota dalam pembatasan hak atas tanah. Kedua, adanya percampuran antara instrumen hukum publik dan instrumen hukum privat dalam satu tindak pemerintahan. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan penting untuk dianalisis karena seperti yang dinyatakan Philipus M. Hadjon:

KINERJA BPN PROV SUMUT DALAM PENYELENGGARAAN PENDAFTARAN TANAH DEMI MENJAMIN KEPASTIAN HUKUM DAN HAK ATAS TANAH PELAKSANAAN KONSOLIDASI TANAH PERKOTAAN SECARA SWADAYA DALAM RANGKA PENINGKATAN KUALITAS LINGKUNGAN PERMUKIMAN


KINERJA BPN PROV SUMUT DALAM PENYELENGGARAAN PENDAFTARAN TANAH DEMI MENJAMIN KEPASTIAN HUKUM DAN HAK ATAS TANAH
PELAKSANAAN KONSOLIDASI TANAH PERKOTAAN SECARA SWADAYA DALAM RANGKA PENINGKATAN KUALITAS LINGKUNGAN PERMUKIMAN (Studi Kasus di Desa Nambangan, Kecamatan Selogiri, Kabupaten Wonogiri)
Pelaksanaan Pensertifikatan Tanah Melalui Proyek Operasi Nasional Agraria ( Prona ) di Kelurahan Cipinang Kecamatan Pulo Gadung Jakarta Timur
Pemberian Hak Atas Tanah Jabatan ( Tanah Adat ) di Desa Jatisampurna Kecamatan Jatisampurna
A. Latar Belakang
Tanah sebagai salah satu sumber daya alam merupakan salah karunia Tuhan Yang Maha esa. Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang paling mendasar sebagai sumber penghidupan dan mata pencaharian, bahkan tanah dan manusia tidak dapat dipisahkan dari semenjak manusia lahir hingga manusia meninggal dunia. Manusia hidup dan berkembang biak serta melakukan aktivitas di atas tanah, sehingga setiap manusia berhubungan dengan tanah. Olehnya itu tanah persoalan tanah ini perlu ditata dan dibuatkan perencanaan dengan hati-hati dan penuh kearifan.